Shilvin ? Alvia ? or Siviel ?? By aizha_Alvz
Laki-laki itu terus memperhatikan gadis manis di sampingnya, mengamati setiap detail gerakannya. Menikmati tawa indahnya, dia benar-benar terpaut oleh pesona gadis itu.
“Asyik banget ngeliatin aku-nya…” goda sang gadis, rupanya dia sadar laki-laki itu sejak tadi memperhatikannya.
Laki-laki itu tersenyum, “Kamu adalah pemandangan terindah yang pernah aku liat.”
“Gombal banget sih!” sang gadis terkekeh, lalu menepuk bahu si laki-laki pelan.
“Kamu mau janji satu hal sama aku?” si laki-laki menatap gadisnya serius.
“Apa?”
“Janji sama aku, untuk jagain hati kamu selalu buat aku.”
“I promise!”
***
Alvin menyusuri koridor sekolah, mencari sang gadis yang sejak jam pertama tidak dia temukan. Yah, mereka memang tidak satu kelas, tapi paling tidak Sivia akan datang ke kelas setiap pagi untuk sekedar mengucap selamat pagi. Tapi pagi ini, dia sama sekali tidak memunculkan batang hidungnya.
“Cari via?” Tanya Shilla, sahabat dekat Alvin. Alvin mengangguk.
“Dia udah balik duluan, katanya sih mau jemput temennya di Bandara.”
Alvin mendesah pelan, ‘Jemput temennya, kenapa dia nggak bilang ya? Sms pun nggak…’ pikirnya.
“Thanks!” ucap Alvin singkat lalu berlari kecil menuju parkiran sekolah. Shilla menatap punggung laki-laki berwajah oriental itu nanar, ‘Andai lo tau, vin…’ lalu tersenyum pahit. Sesakit itukah mencintai tanpa dicintai? Bila seperti itu, semoga saja tidak ada orang lain yang merasakannya.
***
Alvin terus berusaha menghubungi Sivia. Tapi dari tadi, tidak ada jawaban. Kemana gadis itu? Seharian ini, Alvin tidak menemukannya bahkan mendengar suaranya pun tidak.
Keesokan harinya… Alvin sengaja mampir ke rumah Sivia untuk mengajaknya berangkat bareng, meskipun Sivia tidak memintanya. Yah, biasanya juga seperti itu, Sivia tida pernah meminta Alvin untuk menjemputnya. Tapi tiap kali Alvin datang untuk mengajaknya berangkat bareng ke sekolah, dengan senang hati Sivia juga akan menerimanya.
“Non Sivia udah berangkat duluan!” kata bik Inah.
Sungguh bukan itu yang Alvin harapkan, dia pikir Sivia masih duduk manis menyantap sarapan paginya. Karena yang Alvin tau, Sivia tidak pernah berangkat sepagi ini. Ada yang aneh dengan gadis itu. Lalu sebenarnya siapa yang dia jemput di bandara kemarin?
“Mungkin dia udah di sekolah.” Gumam Alvin. Dia segera memacu mobilnya menuju sekolah. Belum terlalu ramai, ini memang masih pagi. Setelah memarkir mobilnya, Alvin segera menuju kelas Sivia. Memastikan bahwa gadis itu telah benar-benar ada di sekolah. Ah, iya. Dia duduk manis di bangkunya sambil membaca buku. Sivia menoleh ke arah Alvin lalu tersenyum, mengisyaratkan untuk duduk di sebelahnya.
“Katanya…kemaren kamu jemput temen kamu ya?” Tanya Alvin.
Sivia mengangguk lalu menghadapkan tubuhnya ke Alvin dengan wajah yang berbinar, “Iya, kamu tau nggak siapa?”
Alvin menggeleng pelan, “Emang siapa?”
“Iyel. Itu lho temen kecil aku yang sering aku certain ke kamu…”
Alvin manggut-manggut. Dia tau, sangat tau malah. Sivia memang sering dan selalu bercerita tentang sobat masa kecilnya itu. Iyel, sosok yang sangat dikagumi Sivia. Yang bahkan mungkin perlahan telah menyelinap masuk ke relung hati Sivia dan menjelma menjadi cinta pertamanya. Sivia sering memanggilnya pahlawan kecil. Alvin merasa wajar jika Sivia punya sobat kecil yang sangat dia kagumi seperti itu, karena Alvin juga pernah merasa hal yang sama.
“Dia itu sekarang makin ganteng, keren, seru, pokoknya anaknya gokil abis deh. Aku nggak nyangka bisa ketemu dia lagi, rasanya seneng banget…” celoteh Sivia, dan mulai bercerita banyak tentang Iyel ‘lagi’ hingga bel masuk berbunyi.
“Aku ke kelas ya!” pamit Alvin lalu beranjak pergi. Alvin dan Sivia emang udah pacaran sekitar 7 bulan, hanya Shilla yang tau tentang hubungan mereka.Tak tau juga apa yang mereka mau sampai harus backstreet segala, padahal tidak ada satu pun yang menentang. Hanya saja mungkin ada beberapa orang yang tidak terlalu suka kalo Alvin dekat dengan seseorang, apalagi sampai menjalin hubungan. Maklum Alvin kan the most wanted boys di sekolah mereka.
Kata Via, Iyel akan menetap di Jakarta. Dia juga akan satu sekolah dengan Via dan Iyel. Via keliatan seneng banget. Tapi entah kenapa, Alvin jadi merasa takut. Takut kehilangan. Alvin tau kalo Sivia dan Iyel hanyalah sahabat masa kecil yang kembali dipertemukan saat mereka remaja, tapi hatinya berkata lain. Ada reaksi lain yang terjadi dalam hatinya saat Sivia menyebut nama Iyel, saat Sivia bercerita tentang Iyel, semuanya terasa…sakit. Tapi Alvin terus meyakinkan hatinya, kalo Sivia hanya miliknya dan akan selamanya seperti itu.
Benar saja, besoknya sekolah udah ramai karena kedatangan murid baru yang katanya keren dan ganteng abis itu, yang Alvin yakini bernama Iyel. Iyel satu kelas dengan Via. Dan kehadiran Iyel, cukup mengusik hubungan Alvin dan Via. Iyel yang selalu mengikuti kemanapun Sivia pergi, membuat Alvin susah bertemu dengan Sivia apalagi status hubungan mereka yang backstreet.
Seperti sekarang ini, Alvin memandangi via yang sedang asyik dengan iyel dari kejauhan.
“Ngapain disini? Gabung yuk!” Shilla menarik lengan Alvin, Alvin mengikutinya malas. Mereka mendekati meja Sivia dan Iyel, bermaksud untuk ikut gabung dan sedikit berbasa-basi dengan anak baru itu.
“Oh ya, lo udah punya cowok, vi?” Tanya Iyel. Posisi Alvin dan Shilla tepat di belakang Sivia dan Iyel. Dan cukup jelas terdengar pembicaraan mereka. Alvin berhenti sejenak, ingin tau apa yang menjadi jawaban Sivia.
“Hah? Gue? Menurut lo gimana?” Tanya Sivia balik.
“Hm…kayaknya udah deh.” Tebak Iyel. Alvin sumringah, tebakan Iyel tepat sekali.
Sivia terkekeh, “Ya nggak-lah!”
“Maksudnya…lo nggak punya pacar?”
“Hmm…”
DEG! Alvin tersenyum masam, bahkan Sivia sama sekali tidak mengakuinya di depan Iyel. Alvin berbalik arah dan kembali ke kelasnya, diikuti Shilla.
“Berarti gue masih ada harapan dong!” goda Iyel.
“Maybe…”
Sementara itu…
“Alvin, tunggu!” Shilla menarik tangan Alvin agar cowok itu menghentikan langkahnya yang terburu-buru. Alvin menoleh.
“Lo nggak pa-pa kan?” Tanya Shilla pelan. Alvin menggeleng pelan.
“Gue heran, bisa-bisanya Sivia bilang kalo dia nggak punya pacar, padahal kan ada elo. Terus selama ini dia nganggep lo apa?” maki Shilla.
“Emang nggak ada yang tau kan kalo gue sama Sivia itu pacaran, cuma elo. Jadi wajar kalo Sivia bilang kayak gitu ke Iyel…” ucap Alvin tenang. Tapi tetap saja hatinya tidak bisa setenang ucapannya barusan. Alvin melepaskan genggaman tangan Shilla lalu menuju kelasnya.
Pulang sekolah --->skip<--
Seperi biasa, sepulang sekolah Alvin pasti menunggu Sivia di parkiran sama Shilla. Alvin terus celingukan mencari sosok Sivia di antara murid-murid yang berhamburan keluar dari gedung sekolah. Sementara Shilla sibuk dengan BB-nya.
“Sabar kek! Bentar lagi juga keluar kok…” kata Shilla masih terus memainkan BB-nya.
“Lo maen BB mulu sih!” Alvin yang kesal dengan tingkah Shilla, dengan sigap merebut BB Shilla dari tangan gadis itu. Alvin menyembunyikan BB itu di balik badannya.
“Alvin, siniin BB gue! Apaan sih lo, iseng banget deh!” Shilla berusaha meraih BB-nya, sehingga posisi mereka nampak seperti berpelukan.
“Ehm…ehm…”
Alvin dan Shilla menoleh. Dengan santai Iyel merangkul Sivia. Sivia sendiri menunduk, tidak berani menatap wajah Alvin. Alvin mengembalikan BB Shilla.
“Hai, gue Iyel…” Iyel mengulurkan tangannya.
“Alvin.” Alvin membalas jabat tangan Iyel, begitu juga Shilla.
“Kalian pacaran ya?” Tanya Iyel dengan nada sedikit menggoda.
Alvin menggeleng cepat, “Kita sahabatan.”
“Oh…gue pikir pacaran, abis kalian cocok banget sih. Iya kan, vi?” Iyel melirik Sivia, meminta pendapat darinya.
Sivia mengangguk pelan, ragu. “Ehm..I..iya…”
“Gue yakin orang lain yang nggak tau kalian sahabatan, pasti mikirnya lo berdua itu pacaran. Cocok banget sih! Ya udah deh guys, gue sama Sivia balik duluan ya!” Iyel menepuk pundak Alvin pelan. Lalu menggandeng tangan Sivia menjauhi Alvin dan Shilla. Alvin terus menatap punggung Sivia. Dia tidak menoleh sedikitpun. Alvin mendesah.
“Kok dia gitu sih? Pake bilang elo cocok sama gue-lah!” gerutu Shilla kesal.
“Iyel yang bilang.” Koreksi Alvin.
“Iya sih, tapi kan tetep aja dia ngangguk, dia setuju sama pendapat Iyel.”
“Udahlah! Balik yuk!!”
“Tapi kan…”
“Udah!!” Alvin menarik paksa tangan Shilla ke mobilnya. Shilla merengut, sebenernya dia kesel banget sama Sivia. Apa yang udah dilakuin Sivia itu udah nyakitin Alvin. Dan Alvin sendiri...dia malah diem aja. Huh!!
Sore ini, Shilla datang ke rumah Alvin, sesuai rencana mereka mau belajar bareng, sama Sivia juga sih. Tapi sudah hampir satu jam dari jam janjian, Sivia belum juga datang. Dia emang suka terlambat, tapi nggak seterlambat ini.
Shilla terus memperhatikan Alvin yang mondar-mandir kayak setrikaan sambil memijat-mijat keypad hpnya.
“Aduh vin, lo ngapain sih? Pusing gue, tau nggak?” keluh Shilla sambil memegang kepalanya. Seolah-olah dia memang sedang sakit kepala.
“Kok dari tadi Sivia nggak angkat telpon gue ya? SMS juga nggak dibales.” Kata Alvin.
“Paling lagi sama cowok barunya itu.” Celetuk Shilla santai sambil memainkan pensilnya.
Alvin mendekati Shilla, “Jangan sembarangan! Kalo pun dia sama Iyel, pasti cuma sekedar main biasa aja.”
“Itu kan kata lo!”
“Tapi gue percaya kok sama Sivia.”
“Sama Iyel?”
Alvin diam.
“Tuh kan, lo diem. Lo bisa aja percaya sama Sivia, tapi jangan lo lupain kalo saat ini juga ada Iyel apalagi dia nggak tau kalo lo itu pacarnya Sivia.”
Shilla menatap Alvin penuh arti, “Kenapa sih lo selalu aja belain Sivia? Iya kalo dia emang bener, kalo nggak?”
Alvin menatap Shilla tajam, dia menganggap ucapan Shilla barusan sangat keterlaluan, “Cukup ya! Lo ngomong apa sih? Nggak usah ngerusak nama Sivia di depan gue!”
“Lho? Bukan gitu, vin! Maksud gue, hati orang siapa yang tau sih? Bisa aja dia bilang A tapi dalam hatinya B. Dan nggak menutup kemungkinan kalo Sivia...”
“Gue lebih kenal Sivia daripada elo!”
“Gue tau vin, gue emang nggak terlalu kenal sama Sivia. Tapi walaupun begitu gue...”
“Udahlah! Mendingan lo pulang aja! Gue lagi nggak mood belajar.” Usir Alvin yang langsung menuju kamarnya. Shilla menatap punggung Alvin yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu, menyesali apa yang baru saja dilontarkan dari mulut manisnya.
“Apa segitu cintanya lo sama Sivia, vin? Sampe-sampe Sivia itu selalu sempurna di mata lo.” Shilla tersenyum kecut. Lalu membereskan buku-buku dan alat tulisnya yang berserakan di meja.
Alvin memperhatikan Shilla yang keluar dari rumahnya lalu pergi. Dia menarik nafas panjang, “Gue tau shil. Gue tau gimana perasaan lo ke gue, tapi di hati gue cuma ada Sivia...mungkin. Tapi gue harap kita masih tetep bisa jadi sahabat baik. Andaikan dari dulu, shil...pasti nggak gini jadinya.”
@Sivia-Iyel
Sivia janjian sama Iyel. Mereka jalan ke mall, atau lebih tepatnya Sivia nemenin Iyel jalan-jalan. Dia bahkan tidak ingat sama sekali dengan janji belajar bareng yang dia buat sendiri kemarin.
“Oh iya vi, Alvin itu cuma temen lo kan?” tanya Iyel, lalu menyendokkan ice cream ke mulutnya.
“Bukan-lah!” jawab Sivia keceplosan, dia segera menutup mulutnya. Merutuki dirinya sendiri.
“Uhuk!!” Iyel tersedak, ice cream-nya berceceran di sekitar mulut. Segera dia bersihkan, “Maksud lo?”
“Hmm...maksud gue, dia bukan cuma temen tapi sahabat baik.”
“Oh, tapi Alvin itu...ganteng lho...”
“Hah? Ganteng? I...iya.”
“Kenapa sih kok gugup gitu keliatannya?”
“Gue gugup? Nggak kok!”
“Lo suka ya sama Alvin?”
Sebenarnya mudah aja buat Sivia untuk bilang ‘ya’ atau sekedar mengangguk untuk menjawab pertanyaan Iyel tapi entah apa yang membuat dia menggeleng pelan, “Apaan sih?”
“Haha...bagus deh!” celetuk Iyel.
Sivia memicingkan matanya, menatap Iyel lekat-lekat, “Maksud lo?”
“Hmm...maksud gue Shilla kayaknya suka deh sama Alvin.”
Kali ini Sivia membulatkan matanya, Shilla suka sama Alvin?? Yang dia tau, Shilla sama Alvin emang udah sahabatan sejak kecil. Tapi cuma sebatas itu, apa mungkin Iyel bener? Dan Alvin sama Shilla kan udah lama bareng, apa mungkin rasa yang ada di antara mereka cuma sesederhana itu?
“Via!” Iyel mengibaskan tangannya di depan Sivia, “Lo kenapa sih? Kok kaget gitu?”
“Hah? Gue kaget? Ng...nggak kok!” jawab Sivia gelagapan. Iyel terus berceloteh ria, sesekali ditanggapi anggukan atau sekedar senyuman manis oleh Sivia. Pikirannya masih terbayang oleh pernyataan Iyel tadi, tentang Shilla dan Alvin.
Di sekolah, Alvin masih tetap sulit untuk menemui Sivia. Karena dimana ada Sivia disitu ada Iyel. Sampai waktu istirahat tiba, Iyel kebetulan dipanggil kepsek jadi Sivia sendirian. Alvin mendekati Sivia.
“Via, kemarin kamu kemana?” tanya Alvin tanpa basa-basi.
“Kemarin aku...” Sivia bingung mau jawab apa atau dia jujur aja kalo kemarin dia jalan sama Iyel. Ah nggak! “Aku nemenin Mama belanja.”
“Oh...tapi kok susah dihubungin?”
“Ehm...hp aku ketinggalan.”
Alvin manggut-manggut, dia kayaknya nggak curiga karena Alvin selalu berpikiran positif tentang ceweknya ini.
Drrrt....drtt... hp Sivia bergetar.
From: My prince
Gue tunggu di kantin ya!
Sivia tersenyum membaca sms itu, dia melirik Alvin sejenak, “Ehm...aku duluan ya!” tanpa sempat mengucapkan sepatah 2 patah kata, Sivia beranjak pergi meninggalkan Alvin. Alvin terus memperhatikan sosok itu hingga dia tak terlihat lagi. Entah kenapa, Alvin merasa gadis itu semakin jauh dari genggaman hatinya.
Sivia melangkah menuju kantin, menemui Iyel. Yah, my prince itu Iyel.
“Hai yel...” Sivia duduk di samping Iyel.
“Darimana?” tanyanya.
“Hmm...itu tuh tadi abis...ketemu Shilla.” Jawab Sivia, bohong. Iyel manggut-manggut. Sivia makin deket sama Iyel, dan makin jauh dari Alvin. Sivia sering lupa sama Alvin kalo dia lagi sama Iyel, bahkan saat dia sama Alvin pun selalu Iyel yang dia inget.
“Vin...” panggil Iyel.
Alvin menoleh, “Ya.”
“Bantuin gue ya! Gue mau nembak Sivia.”
DEG. Rasanya Alvin pengen bilang kalo Sivia itu miliknya, dan Iyel nggak boleh nembak Sivia apalagi minta bantuan sama cowoknya Sivia sendiri. Ini gila! Tapi Alvin justru mengangguk pelan. Dia emang udah bener-bener gila.
Iyel keliatan seneng banget, “Thank’s ya! Lo emang temen terbaik!”
Hari ini, tepat hari yang ditentukan Iyel buat nembak Sivia. Alvin cuma diminta bawa Sivia ke lapangan basket. Sebenernya Alvin berharap hari ini nggak akan pernah ada. Tapi Alvin juga pengen tau jawaban Sivia soal Iyel.
“Lo nggak waras, vin!” bisik Shilla, matanya terus menatap Sivia sama Iyel yang ada di tengah lapangan basket jadi pusat perhatian. Alvin nggak menggubris.
“Sivia, jujur dari awal kita ketemu, aku udah suka sama kamu.” Iyel berlutut di depan Sivia, satu tangannya memegang tangan Sivia. Bak pangeran yang meminta sang putri untuk tinggal di istananya.
“Via, would you be my girl?” tanya Iyel. Sivia sempat melirik Alvin sebentar. Alvin sendiri berharap, saat ini juga Sivia bilang soal hubungan mereka. Tapi ternyata, Sivia mengangguk pelan. Dan refleks, Iyel langsung memeluk Sivia. Alvin kecewa, kecewa dengan keputusan Sivia.
“Apa? Dia nerima Iyel? Terus dia nganggep lo apa?” tanya Shilla yang nggak terima sahabatnya diperlakukan seperti itu. Alvin langsung beranjak dari tempat itu. Dia pulang, pikirannya kacau. Alvin yang terkenal taat peraturan sekolah kali ini dia korbankan untuk seorang Sivia. Shilla sendiri bingung. Pulang sekolah, dia langsung menemui Sivia untuk membicarakan tentang Alvin.
“Gue mau bicara sama lo!” Shilla menarik Sivia, tanpa mempedulikan Iyel.
“Lepasin! Sakit, shil!” rintih Sivia.
Shilla menghempaskan tangan Sivia kasar, “Ini nggak seberapa, vi! Hati Alvin jauh lebih sakit dari ini...”
“Al...vin...”
“Tega banget sih lo, nerima cowok lain di depan cowok lo sendiri. Dasar nggak punya hati!”
“Shil, gue...”
“Apa?? Jahat lo!”
“Gue suka sama Iyel!”
Plaakk... shilla menampar Sivia, “Jangan pernah lagi lo temui Alvin!”
“Gue tau, lo suka kan sama Alvin?” teriak Sivia, tapi cukup untuk membuat Shilla menoleh.
“Kalo iya, lo mau apa? Toh sekarang lo udah sama Iyel kan? Jadi secara otomatis Alvin udah bukan milik lo lagi...” kata Shilla.
Shilla pergi meninggalkan Sivia. Dan sejak kejadian itu, nggak ada lagi sosok Alvin ataupun Shilla yang terlihat di sekolah, secara tiba-tiba mereka menghilang tanpa kabar. Sivia berusaha mencari Shilla di rumahnya, tapi selalu sepi bahkan pembantunya pun nggak tau Shilla kemana, yang dia tau Shilla itu pindah. Tidak ingin menyerah, Sivia mendatangi rumah Alvin.
“Oh, mas Alvin udah pindah.” Kata pembantunya.
“Pindah? Pindah kemana?” tanya Sivia.
“Kalo nggak salah...ke Paris.”
Paris. Jadi Alvin pindah ke Paris. Sesakit itukah hatinya sampai dia memilih pergi jauh dari Sivia. Dan pergi bersama Shilla? Ya, pasti mereka berdua pergi ke tempat yang sama untuk menjauhi dan melupakan Sivia.
3 tahun kemudian....
“Vi, kamu mau makan apa?” tanya Iyel. Sivia tidak memperhatikan Iyel, dia terus saja memikirkan Alvin. Dia kangen sama Alvin, biasanya Alvin yang selalu ngajakin dia makan di sini. Dan Sivia sadar, ada yang hilang dari hatinya seiring kepergian Alvin.
“Via...” Iyel menggoyang-goyangkan tangannya di depan Sivia.
“Eh iya vin, kamu tadi nanya apa?” tanya Sivia gelagapan.
Iyel mendelik, “Apa?”
“Loh, kamu gimana sih? Tadi kamu nanya apaan?”
“Nggak! Bukan itu! Kamu tadi manggil aku apa?”
“Al...” Sivia menutup mulutnya sendiri, merutuki ucapannya barusan. Jelas-jelas yang ada di depannya saat ini adalah Iyel, kenapa bisa-bisanya nama Alvin yang muncul di benak Sivia?
“Sorry.” Ucap Sivia lirih.
“Kamu harus belajar panggil aku Iyel.”
Belajar? Udah berapa kali Sivia manggil Iyel dengan sebutan Alvin? Sesering itukah? Ya Tuhan, ada apa ini?
“Aku balik ke kelas, ada mata kuliah!” pamit Iyel, lalu merapikan bukunya. Sivia menahan Iyel.
“Tunggu!”
“Aku telat.” Iyel menghempaskan tangan Sivia. Tapi Sivia terus mengikuti Iyel.
“Maafin aku, yel! Aku...”
“Kamu nggak bener-bener sayang sama aku, vi.” Potong Iyel.
Sivia menatap Iyel, lalu menggeleng.
“Mungkin kamu emang milik aku, tapi hati kamu nggak pernah ada di samping aku.” Kata Iyel. “Hati kamu selalu ikut kemana Alvin pergi.”
Brukk...
Seseorang menabrak Sivia, semua buku yang dia bawa berantakan.
“Sorry.” Ucapnya sambil memunguti buku-bukunya. Sivia tidak begitu memperhatikan gadis itu, dia terus menatap Iyel.
“Ya ampun shil, kamu nggak pa-pa?” tanya seorang cowok yang membantu gadis itu berdiri. Sivia menoleh, begitu mendengar suara cowok itu apalagi dia memanggil gadis itu ‘shil’. Apa mungkin gadis itu...
“Shilla??” pekik Sivia kaget.
“Sivia?” gadis itu juga kaget. Shilla.
Sivia menatap cowok di sebelah Shilla, cowok putih, tinggi, berwajah oriental itu...Alvin. Ya Tuhan, bahkan senyumnya pun masih terekam jelas di otak Sivia, ingin sekali dia memeluk cowok itu tapi dia segera ingat ada Iyel di sampingnya.
“Hai vin, apa kabar?” tanya Sivia getir.
“Oh baik, lo siapa? Kayaknya kita belum kenalan deh, lo udah tau aja nama gue...” kata Alvin santai.
Sivia mengamati Alvin dari atas hingga bawah. Dia yakin kalo cowok di hadapannya itu Alvin, tapi kenapa dia bilang nggak kenal sama Sivia? Apa segitu bencinya Alvin sama Sivia? Shilla dan Iyel diam seribu bahasa. Iyel juga kaget mendengar ucapan Alvin barusan.
“Kamu nggak inget?” tanya Sivia.
Alvin menggeleng, “Emang lo siapa?”
Sivia membulatkan matanya, bagaimana mungkin Alvin melupakannya? Sivia nggak sanggup lagi menatap Alvin yang keliatan bingung. Dia pergi, nggak peduli lagi sama Iyel yang tadi marah, Shilla yang hanya diam membisu dan Alvin yang menatapnya penuh tanya.
“Dia kenapa sih? Ada yang salah sama aku?” tanya Alvin pada Shilla.
Shilla menggeleng, “Nggak apa-apa vin, dia...temen SMU aku.”
Alvin manggut-manggut, walapun dia masih ngerasa aneh sama sikap cewek tadi, “Namanya siapa tadi?”
“Oh ehm...Sivia.”
“Sivia... Sivia...” Alvin mengucapkan nama itu berulang kali, rasanya dia nggak asing dengan nama itu, dan sepertinya dia pernah mengucapkan nama itu sebelumnya.
“Kenapa vin?” tanya Shilla, Alvin menggeleng pelan lalu tersenyum. Dia menggandeng Shilla, tunangannya. Yah, mereka emang udah tunangan tepat setelah mereka berdua lulus SMU.
Sivia berlari ke taman kampus, dia menangis. Menangisi Alvin yang bahkan sama sekali nggak mengingatnya, menangisi tindakan bodohnya 3 tahun lalu.
“Via...” panggil Iyel. Dia duduk di samping Sivia seperti biasa, namun kali ini tanpa senyuman, Iyel memasang wajah serius. “Dia balik.”
Sivia menghapus air matanya, menatap Iyel yang menerawang jauh ke langit. “Ya, dia datang lagi.”
“Aku akan relain kamu buat dia...”
Sivia membulatkan matanya, “Maksud kamu?”
“Kamu akan lebih bahagia sama Alvin daripada sama aku.”
“Tapi...”
“Aku rela, vi!” Iyel beranjak pergi. Sivia ingin sekali mengiyakan perkataan Iyel, dia ingin kembali pada Alvin. Tapi Iyel terlalu baik, dan Sivia nggak tega sama Iyel.
Pulang kuliah, Sivia mencari Shilla. Shilla yang kebetulan sedang jalan sendirian tanpa Alvin langsung ditarik Sivia ke tama belakang kampus yang lumayan sepi.
“Lo jahat shil!” Sivia mendorong Shilla kasar.
“Maksud lo apa?” tanya Shilla bingung.
“Kenapa lo lakuin ini ke gue?”
“Apa sih, vi? Gue nggak ngerti!”
“Alvin...lo apain dia sampe lupa sama gue? Gue tau lo suka sama dia, tapi nggak gini caranya!”
“Ya Tuhan vi, gue sama sekali nggak ngapa-ngapain. Gue juga nggak mau ini semua terjadi, dan gue juga nggak tau kenapa semuanya bisa jadi kayak gini...”
“Nggak usah munafik! Gue tau kok, lo kan yang minta Alvin pindah ke Paris dan menjauh dari gue?”
“Bukan gue, vi!”
“Lalu siapa? Jelasin ke gue!”
Flash back: on
Shilla gelisah, sejak acara penembakan itu Alvin menghilang, mungkin Alvin pulang ke rumahnya. Tapi waktu ditelepon ke rumahnya, nggak ada yang ngangkat. Hp Alvin juga mati. Sebenarnya kenapa dia? Tiba-tiba Shilla mendapat telepon dari Mama-nya Alvin, mungkin menanyakan tentang Alvin.
“Ya Tante...” sapa Shilla. Shilla mendengarkan dengan seksama apa yang dibicarakan Mama Alvin, Shilla shock. “Ya udah tante, Shilla kesana sekarang!”
@RS PELITA HARAPAN
Shilla langsung mencari ruang ICU, dilihatnya Mama-Papa Alvin duduk depan ruang ICU. Mama Alvin nampak sedih, dia menangis. Shilla mendekati mereka.
“Alvin kenapa, tante?” tanya Shilla parau.
Mama Alvin memeluk Shilla, “Dia kritis.”
Shilla terduduk lemas. Baru aja tadi pagi dia liat cowok itu, tapi sekarang hidupnya diambang hidup dan mati.
“Dengan keluarga Alvin Jonathan?” tanya seorang dokter. Papa Alvin mengangguk.
“Bisa tolong ikut ke ruangan saya sebentar?”
Sekali lagi Papa Alvin mengangguk, lalu dia mengikuti langkah dokter itu.
“Bagaimana dengan putra saya?” tanya Papa Alvin.
“Seperti yang anda ketahui saat ini, kondisinya kritis. Ada pendarahan di otaknya, dan nampaknya otak kecil putra anda juga terbentur cukup keras, dan ini menyebabkan ada sebagian ingatan yang hilang.” Jelas dokter itu.
“Maksud dokter, dia amnesia?”
Dokter itu mengangguk, “Ya tapi tidak sepenuhnya.”
“Tapi dia akan selamat kan, dok?”
“Kemungkinan untuk selamat masih ada.”
Hampir satu minggu, Alvin dalam keadaan koma. Dan sekarang dia mulai bergerak, dia menggerakan jari tangannya lalu perlahan membuka matanya.
“Alvin? Lo udah sadar?” tanya Shilla senang.
“Ini dimana?”
“Di Rumah Sakit, lo kecelakaan dan selama seminggu lo koma.”
“Kecelakaan?”
Shilla mengangguk. “Lo masih inget kan?”
“Gue nggak ngerti.”
Shilla bingung dengan respon Alvin yang seperti itu, dia keliatan kayak orang linglung. Apa emang kayak gitu kalo orang abis koma? Ah...tapi nenek Shilla nggak seperti itu.
“Tante, sebenernya Alvin kenapa?” tanya Shilla masih ngerasa aneh sama sikap Alvin.
“Dia itu...amnesia.”
“Amnesia???”
Mama Alvin mengangguk.
“Tapi kenapa dia cuma nggak inget sama Sivia?”
“Karena mungkin hanya ingatan tentang Sivia yang hilang. Tante mohon, jangan ceritakan apapun soal Sivia kepada Alvin!”
Shilla menelan ludah. Kok semuanya jadi gini?
“Oh iya, kami sekeluarga akan pindah ke Paris. Kamu ikut ya! Temani Alvin.” Pinta Mama Alvin. Shilla nampak berpikir.
“Kamu tenang aja, orang tua kamu sudah mengijinkan, lagipula disana juga kan ada kakakmu, Cakka.” Ucapnya. Shilla mengangguk.
Flas back: off
“Jadi dia....?” Sivia kaget begitu tau yang sebenarnya.
Shilla mengangguk, “Ini bukan mau gue!”
“Maafin gue, shil!”
“Nggak, gue yang harusnya minta maaf. Harusnya gue ceritain soal elo ke dia.”
“Tapi lo masih punya waktu, shil! Gue mohon bantu dia supaya inget lagi sama gue. Gue mau minta maaf sama dia...”
“Iya, gue pasti bantuin lo. Tapi...semua ini butuh waktu, vi!”
Sivia mengangguk, “Gue akan tunggu, sampe kapanpun...”
Sepertinya Sivia sudah sepenuhnya menyadari kesalahannya di masa lalu, dan Shilla juga merasa kalo sebenarnya Sivia yang lebih pantas ada di samping Alvin, meskipun itu artinya menyakiti hatinya sendiri. Tapi apapun itu asalkan Alvin bahagia.
Shilla duduk sendirian di pinggir kolam, kakinya dia masukkan ke air lalu tangannya asyik memainkan air itu. Dia terus memikirkan cara agar Alvin cepat mengingat Sivia tanpa terlalu memaksanya, karena jika Shilla terllau memaksa Alvin akibatnya akan fatal untuk Alvin sendiri. Tapi dokter sendiri juga pernah bilang kalo ingatan Alvin itu mungkin hilang permanen.
“Shil...” Alvin menepuk pundak Shilla pelan lalu duduk di samping gadis itu, Alvin membawa gitar kesayangannya lalu diberikan pada Shilla, “Kamu mau kan nyanyiin satu lagu buat aku?”
Shilla mendelik, “Apa?”
“Apapun, asalkan kamu yang nyanyiin.”
Shilla tersenyum lalu mengambil alih gitar Alvin, perlahan Shilla mulai memainkan gitar itu. Diikuti dengan suara lembut shilla.
Aku cinta mati padamu
Tak kan sanggup aku tanpamu
Bahagiamu itu bahagiaku
Dan setiap air matamu itulah juga kesedihanku
Aku cinta mati padamu
Jangan pernah meragukanku
Terlalu dalam cintaku ini
Mungkin aku bisa mati bila harus kehilangan dirimu
Bukan untuk sembarang hati
Aku katakan ini sungguh aku cinta kamu
Bukan untuk sembarang hati
Hingga nafas berhenti, aku rela berlelah untukmu
Aku cinta mati padamu
Jangan pernah meragukanku
Terlalu dalam cintaku ini
Mungkin aku bisa mati bila harus kehilangan dirimu
Bukan untuk sembarang hati
Aku katakan ini sungguh aku cinta kamu
Bukan untuk sembarang hati
Hingga nafas berhenti, aku rela berlelah untukmu
Bukan untuk sembarang hati
Aku katakan ini sungguh aku cinta kamu
Bukan untuk sembarang hati
Hingga nafas berhenti, aku rela berlelah untukmu
Prokk...prokk...prokk... Alvin bertepuk tangan, kagum dengan gadisnya. Matanya berbicara saat dia mengucapkan setiap kata dalam bait lagu itu. Benar-benar menggetarkan hatinya.
“Aku suka suara kamu.” Ucap Alvin tulus.
Shilla tersenyum tipis, dia yakin Alvin tidak akan pernah berbicara seperti itu padanya kalo ada Sivia di sisinya. Shilla semakin merasa bersalah.
“Shil...” Alvin menyentuh kedua belah pipi Shilla, menegakkan pandangannya hingga mereka saling bertatapan.
“Vin, aku boleh tanya sesuatu?” Shilla menyingkirkan tangan Alvin secara halus.
“Of course, what do you want to ask me?”
“If your first love come back, what will you do?”
“Are you believe me?”
Shilla mengangguk.
“I love you now, tomorrow and forever...”
“Are you sure?”
“Ya...”
Alvin menatap Shilla heran, dia mengenggam tangan, “What’s happened with you?”
“I feel well.”
“Sure?”
“Ya, I think...”
“Shilla, please don’t hide anything from me.Aku tau waktu kamu ada masalah. I know it, so don’t make me confused.”
“Sorry...”
“Tell me abou it!”
Shilla mendesah pelan, lalu diam untuk waktu yang cukup lama. Alvin mengambil gitarnya, memainkannya.
Kau berikan untukku
Satu alasan untukku tetap disini
Senyumanmu memburu hatiku
Menyadarkan jiwaku ku tak sendiri
Menemani batinku yang kadang sepi
Kau keindahan yang nyata untukku
Kau bisikkan untukku
Seuntai kata terangkai begitu merdu
Menyejukkan jasadku yang hangat
Saat peluh membasahi raga ini
Saat hati tak tau kemana lagi
Kau keindahan yang nyata
Hingga waktu kan menutup mataku
Karena kau buktikan untukku
satu kisah tentang kita yang teramat indah tuk terlupa
Sempurna bukan milik kita
Namun kau selalu ada untukku
Lengkapi hidupku dengan indah ....dengan indah
Hakikat tuk mencinta
Tak pernah luput dari kenyataan bahwa kita tak selalu tertawa
Bersama berdua tanpa air mata yang menghiasi hidupmu dan hidupku
Bukankah cinta datang karena kita berdua
Jalani hari lengkapi hati dengan senyum dan tangis bersama
Karena kau buktikan untukku
satu kisah tentang kita yang teramat indah tuk terlupa
Sempurna bukan milik kita
Namun kau selalu ada untukku
Lengkapi hidupku dengan indah ....dengan indah
Alvin mengakihiri lagu itu dengan indah.
Shilla tersenyum tipis, andai aja ada Sivia pasti Sivia yang saat ini sedang menikmati lagu itu disini. “Datang ke taman kota jam 4 sore. Kalo kamu datang lebih dari jam itu, aku akan pergi.” Ucap Shilla pelan tapi cukup terdengar jelas. Lalu beranjak dari tempatnya, meninggalkan Alvin.
“Aku nggak akan telat.” Gumam Alvin.
@taman kota
Alvin memadangi jam di tangannya. Jam masih menunjukkan pukul 15.45, harusnya shilla ada disini. Dia kan datang 15 menit lebih awal dari jam yang ditentukan, tapi Alvin sama sekali nggak menemukan sosok itu di taman, Alvin terus menjelajah setiap sudut taman dengan ekor matanya.
Tiba-tiba saja Alvin menepuk jidatnya sendiri, “Kok panik gini sih? Kan gue bisa telepon dia...”
Baru saja, Alvin mencari nama shilla di phone book-nya, ada seseorang yang menepuk pundaknya. Alvin terseyum senang, dia yakin itu Shilla. Alvin langsung memeluknya, “Kamu kemana sih? Aku khawatir tau nggak?”
Alvin melepas pelukannya, mengamati wajah gadis yang dipeluknya tadi. Gadis yang berbeda, dan itu bukan Shilla.
“Elo?” Alvin kaget.
“Iya, ini aku vin, Sivia.” kata gadis itu sambil menunjuk dirinya sendiri.
Alvin celingukan, mencari Shilla. Kemana dia? Kenapa jadi Sivia yang datang kesini?
“Shilla yang nyuruh aku datang kesini...” ucap Sivia.
“Alvin membulatkan matanya, “Shilla? Terus kemana dia?”
Sivia menggeleng, “Dia cuma bilang kamu mau ketemu sama aku.”
“Hah? Dia bilang gitu?”
Sivia mengangguk, “Iya, katanya...”
“Tunggu! Gue dateng kesini karena dia yang minta, bukan untuk ketemu sama lo tapi untuk bicarain masalah dia.” Jelas Alvin.
“Masalah kita, vin...” tegas Sivia.
“Kita? Apa maksud lo? Gue nggak kenal lo, gue nggak pernah ketemu lo sebelumnya dan sekarang tiba-tiba lo dateng dan bicarain soal masalah kita?”
“Kamu masih belum ingat aku? Atau kamu emang sengaja lupa sama aku?”
“Tolong jangan bikin gue makin bingung!”
Sivia mengeluarkan liontin yang diberikan Alvin dulu, “Ini kamu yang ngasih waktu kamu nembak aku. Aku yakin sampai saat ini rasa itu masih ada kan?”
Alvin merasakan sakit yang sangat menjalar di bagian belakang kepalanya.
“Aku minta maaf karena ninggalin kamu buat Iyel, dan sekarang aku sadar kalo...”
“Stop it!!!! I don’t want to listen it again!” Sakit di kepala Alvin makin menjadi.
“Please, listen to me! You have to remember me...”
“Don’t force me!”
“Oke, maafin aku...aku cuma mau kamu inget lagi sama aku.”
“Dengerin gue baik-baik! Yang gue tau, gue itu tunangan Shilla, gue cinta sama Shilla bahkan orang tua kita udah mulai ngomongin pernikahan. Dan gue sama sekali nggak tau tentang elo...sorry...” Alvin beranjak. Tapi Sivia menahannya.
“Kamu mau kemana? Jangan tinggalin aku, vin! Tolong!” pinta Sivia.
“Gue mau cari Shilla.”
Sivia memeluk Alvin. Sementara itu dari kejauhan Shilla terus mengamati setiap gerak-gerik mereka. “Mereka udah balikan. Aku bahagia buat kamu, vin.” Gumam Shilla lalu pergi dari tempat persembunyiannya.
“Aku mohon jangan berontak, vin! Ijinkan aku ngerasain pelukan kamu sebelum aku belajar ngelupain kamu. Asal kamu tau, ngelupain kamu adalah hal tersulit dalam hidup aku karena aku pernah janji untuk jaga hati aku buat kamu selamanya....” Bisik Sivia sambil terus memeluk erat tubuh Alvin. Alvin menurut, dia diam tapi juga tidak membalas pelukan Sivia. Yang ada di pikirannya saat ini hanya Shilla Shilla dan Shilla. Apa ini yang dia maksud masalah? Tapi kenapa dia bisa ngelakuin ini sama Alvin? Apa Shilla udah nggak cinta lagi sama Alvin? Sampe-sampe dia bantuin Sivia, yang katanya mantan pacarnya ini, buat ketemu lagi sama Alvin. Buat apa dia ngelakuin ini semua?
Alvin mencari Shilla. Shilla yang tiba-tiba menghilang, semuanya nggak tau dimana Shilla karena sejak siang tadi Shilla pergi. Alvin berpikir keras, kira-kira tempat apa yang akan dia kunjungi saat hatinya sedang kacau? Kayaknya Alvin tau, dia segera melaju menuju tempat yang mungkin didatangi Shilla. Benar saja, Shilla duduk meringkuk di atas rerumputan. Samar-samar Alvin mendengar Shilla terisak, dia menangis. Alvin duduk di samping Shilla.
“Jangan bilang rela, kalo kamu sendiri nggak pernah relain aku buat Sivia.” kata Alvin. Shilla mendongak, menghapus air matanya yang sedari tadi mengalir.
“Alvin....” ucap Shilla parau. Alvin mengusap air mata Shilla dengan kedua jempolnya, lalu mendekap gadis itu hangat.
“Jangan nangis! Aku nggak suka liat cewek nangis, dan aku juga nggak mau liat cewek aku nangis...”
Shilla melepaskan pelukan Alvin, menatap cowok itu heran, “Sivia??”
“Temen SMU kamu itu?”
Shilla menggeleng, “Dia...”
“Aku tau, tapi saat ini cuma ada kamu disini.” Alvin meletakkan tangan Shilla di dadanya. “Only you, girl!”
Shilla tersenyum.
“Aku nggak perlu ngulang kata-kata aku kemaren kan? Semuanya udah jelas. Siapapun Sivia di masa lalu aku, hati aku akan selalu buat kamu.”



